Friday, April 20, 2012

Tribute to Ayah

I always complained of how my husband always work and did not put family first until I read an article. That a husband always shed invisible tears. Maybe because I just married for a few years I don't really realize it. But I'll remember it for years to come. I copy paste it from here.

Tahukah anda, kaum pria sesungguhnya jauh lebih sering "menangis". Namun mereka menyembunyikan tangisnya di dalam kekuatan akalnya, Itulah mengapa Tuhan menyebutkan bahwa pada pria, terdapat dua kali lipat akal seorang wanita, dan itulah sebabnya, mengapa tiada yang anda lihat selain ketegarannya.

Pria menangis karena tanggung jawabnya di hadapan Tuhan.
Ia menjadi tonggak penyangga rumah tangga.
Menjadi pengawal Tuhan bagi Ibu, saudara perempuan, istri dan anak-anaknya.
Maka tangisnya tak pernah nampak di bening matanya.
Tangis pria adalah pada keringat yang bercucuran demi menafkahi keluarganya.
Tak bisa anda lihat tangisnya pada keluh kesah di lisannya.
Pria "menangis" dalam letih dan lelahnya menjaga keluarganya dari kelaparan.

Tak dapat anda dengar tangisnya pada omelan-omelan di bibirnya.
Pria "menangis" dalam tegak dan teguhnya dalam melindungi keluarganya dari terik matahari, deras hujan dan dinginnnya angin malam.

Tak nampak tangisnya pada peristiwa-peristiwa kecil dan sepele.
Pria "menangis" dalam kemarahannya jika kehormatan diri dan keluarganya digugat.
Pria "menangis" dengan sigap bangunnya di kegelapan dini hari.
Pria "menangis" dengan bercucuran peluhnya dalam menjemput rezeki. Pria "menangis" dengan menjaga dan melindungi orang tua, anak dan istri.
Pria "menangis" dengan tenaga dan darahnya menjadi garda bagi agamanya.
Namun, pria pun sungguh-sungguh menangis dengan air matanya, di kesendiriannya menyadari tanggung jawabnya yang besar di hadapan Tuhan.

Maka....
Pandanglah Ayah. Pandanglah Suami.
Sebab, Surga juga ada di mereka


Jadi inget si ayah jauh-jauh ke Jakarta buat ngerjain proyek. Gw rasa kalo ada pekerjaan lain beliau mau aja stay di sini buat selalu bareng keluarga. Kalo bisa nolak gw rasa beliau bakal menolak untuk pergi ke Jakarta. Tapi kalo mau rumah terus dibayarin, asuransi terus terbayar, ya harus berangkat. Sekarang kita lagi berusaha mencari pekerjaan lain yang setidaknya lebih menjanjikan. InsyaAllah rejeki segera datang ya.

Di Jakarta juga tiap pagi bangun jam 5 pagi buat berangkat ke kantor. Kadang langsung ke kapal. Pernah turun kapal jam 9malam. Jarang di kantor ongkang-ongkang kaki, sering lembur, di rumah harus angkat telepon dari kapal kapanpun. Belum lagi harus menghadapi istri yang demanding minta ditelepon dan manja minta macem-macem nun jauh disana. Sekarang hamil ngidam macem-macem minta martabak manis. Martabak ketinggalan istri ngamuk-ngamuk.

Terus inget bapak, dari dulu pengorbanannya besar sekali. Mengurus ibu, cari pengobatan buat ibu, mendidik anak-anak seorang diri. Tetap harus bekerja, mencari nafkah, sampai rumah tetap harus mendidik anak-anaknya. Berusaha sekuat tenaganya agar kami tumbuh jadi anak-anak yang berbakti dan tidak terjerumus hal-hal kurang baik, menanamkan prinsip-prinsip hidup yang terus jadi peganganku hingga hari ini. Mungkin setiap kemarahan yang dulu selalu terlontar dari mulutnya adalah tangisan tersedu-sedu seorang ayah. Tidak pernah sekalipun kulihat bapak menangis, semua dihadapinya dengan tegar. Buatku dulu bapak terlalu kaku, ini tidak boleh itu tidak boleh. Setiap kali dia memarahiku diakhiri dengan kata-kata, "Suatu hari nanti kamu akan mengerti."Aku harus menikah dulu lalu punya anak baru aku mengerti. 

Benar kata tulisan diatas, Surga bukan hanya ada di telapak kaki ibu, namun ada juga di tangan ayah :)   

No comments: